Historiografi Indonesia: Rekayasa Kepahlawanan dan Politik Pencitraan

“Soeharto adalah Bapak Pembangunan Indonesia”, begitulah pernyataan buku Ilmu Pengetahuan Sosial yang penulis pelajari ketika kecil. Bahkan, tanpa rasa kikuk sedikit pun, Wiranto menulis di bukunya 7 Tahun Menggali Pemikiran dan Tindakan Pak Harto, Alhamdulillah, dalam enam kali menyelenggarakan Pemilu sejak tahun 1971, Golkar mendapat kepercayaan rakyat untuk menduduki bagian terbesar dari kursi badan-badan perwakilan. Hal ini berarti, rakyat mempercayai kebijakan, strategi dan program yang ditawarkan Golkar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, baik lahir maupun batin” (Wiranto: 2011). Bahkan, Partai Keadilan Sejahtera, tanpa keraguan sedikit pun, mengusung Soeharto sebagai guru bangsa yang harus ditiru.

Jika kesemua pernyataan tersebut digaungkan tatkala rezim orde baru masih berkuasa, tentu tidak mengejutkan. Karena kesemua lini kehidupan telah dikontrol sepenuhnya oleh rezim dan kroni-kroninya. Akan tetapi, masalahnya adalah pendapat itu dinyatakan jauh setelah Soeharto lengser keprabon. Kalau demikian, apa yang melatarbelakangi pengkultusan Soeharto yang demikian mengerak? Untuk menjawabnya, kita tengok dulu peristiwa masa lampau tatkala pemerintahan totaliter tengah berkuasa. Continue reading

Kritik Pendidikan di Tengah Pusaran Pasar

Judul               : Pendidikan Posmodernisme: Telaah Kritis Pemikiran Tokoh Pendidikan

Penulis             : Mukhrizal Arif, dkk.

Penerbit           : Ar-Ruzz Media, Yogyakarta

Cetakan           : I, 2014

Tebal               : 348 hlm

Dalam suatu masyarakat yang hedonis dan konsumeris, sistem pendidikan lebih diorientasikan pada pasar. Sejauh mana pendidikan mampu memberikan fasilitas bagi masyarakat untuk terus mengikuti perkembangan pasar. Dengan kata lain, apa manfaat pendidikan bagi pasar?

Hal ini tentu bermasalah. Orangtua menyekolahkan anaknya hanya agar kelak mendapatkan pekerjaan layak sesuai dana yang digunakan untuk membiayainya. Orangtua –khususnya dari kalangan borjuis– juga akan lebih bangga jika anaknya masuk di sekolah favorit. Terlepas ia dibantu dengan donasi orangtuanya atau tidak. Continue reading

Kontemplasi Sepi Film Puisi

Tentang Menggugat Kenormalan

//Enam bulan sudah ia berumah tangga// tanpa gairah, tanpa bahagia// kepada ibunya dulu ketika sakit parah// ia telah menyerah untuk menikah//. Enam bulan, bukan waktu yang sebentar bagi seseorang yang dilanda pertentangan dalam hatinya. Ia masih amat mencintai kekasih laki-lakinya, namun ia juga dituntut untuk tak menyalahi norma masyarakatnya.

//Sudah tiga kali// Amir terbangun lepas tengah malam//…//Lampu ia nyalakan// dan dibukanya laci:// Foto, puisi, tulisan, aksesori,// semua memicu kenangan// cinta terlarang//…//Dan lihat, ada dua cincin// di jari Amir:// untuk istri di jari kiri// untuk Bambang di jari kanan//. Masih banyak kenangan yang tersimpan rapi tentangnya, Bambang, cintanya yang layu sebelum diresmikan.

Dan tinggal menunggu waktu, sang istri akan mengetahui rahasia terdalam seseorang yang menemaninya tiap malam, seseorang yang cintanya diserahkan sepenuhnya. Hanya dengan ucapan, “Aku seorang gay”, seketika itu pula kamuflase rumahtangga akan terbongkar. Ya, sengketa keluarga ala Brokeback Mountain akan terulang kembali.

Namun pertanyaannya, apakah semua film yang dibangun di atas pondasi “menggugat kenormalan” pasti akan menuai keberhasilan? Sebagaimana film yang bercerita tentang penggembala gay, mampu memborong tiga penghargaan Golden Globe 2006? Continue reading