“Soeharto adalah Bapak Pembangunan Indonesia”, begitulah pernyataan buku Ilmu Pengetahuan Sosial yang penulis pelajari ketika kecil. Bahkan, tanpa rasa kikuk sedikit pun, Wiranto menulis di bukunya 7 Tahun Menggali Pemikiran dan Tindakan Pak Harto, “Alhamdulillah, dalam enam kali menyelenggarakan Pemilu sejak tahun 1971, Golkar mendapat kepercayaan rakyat untuk menduduki bagian terbesar dari kursi badan-badan perwakilan. Hal ini berarti, rakyat mempercayai kebijakan, strategi dan program yang ditawarkan Golkar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, baik lahir maupun batin” (Wiranto: 2011). Bahkan, Partai Keadilan Sejahtera, tanpa keraguan sedikit pun, mengusung Soeharto sebagai guru bangsa yang harus ditiru.
Jika kesemua pernyataan tersebut digaungkan tatkala rezim orde baru masih berkuasa, tentu tidak mengejutkan. Karena kesemua lini kehidupan telah dikontrol sepenuhnya oleh rezim dan kroni-kroninya. Akan tetapi, masalahnya adalah pendapat itu dinyatakan jauh setelah Soeharto lengser keprabon. Kalau demikian, apa yang melatarbelakangi pengkultusan Soeharto yang demikian mengerak? Untuk menjawabnya, kita tengok dulu peristiwa masa lampau tatkala pemerintahan totaliter tengah berkuasa. Continue reading