Haji: Tragedi dan Dilema (di) Arab Saudi

Tragedi Tahunan

Penulis masih ingat kisah ibu penulis ketika menceritakan pengalaman haji kakek. Pada waktu itu, sekitar tahun 70-an, ketika perjalanan haji belum semudah sekarang, ketika transportasi jarak jauh masih berupa kapal laut, lumrah para calon haji berwasiat kepada sanak saudara sebelum meninggalkan tanah air. Hal ini dikarenakan waktu tempuh yang amat lama, minimal 3-4 bulan. Belum lagi keamanan selama perjalanan belum begitu terjamin sebagaimana sekarang. Dan memang, pada masa dulu, sering terdengar kabar wafatnya jamaah haji Indonesia yang kemudian dimakamkan di sana. Sampai sekarang, masyarakat di sekitar penulis masih berkeyakinan jika meninggal dalam menjalankan ibadah haji, terlepas bagaimanapun sebab kematiannya, adalah suatu kemuliaan.

Akan tetapi, sepertinya keyakinan semacam itu perlu direvisi. Karena sampai sekarang, ketika standar keamanan dan infrastruktur penunjang sudah lebih memadai, kematian jamaah haji masih marak terjadi. Seperti kejadian mengerikan baru-baru ini, Bermula tragedi ambruknya crane (alat derek) yang menimpa salah satu sudut Mas’a (tempat sa’i) pada 11 September 2015, kemudian kebakaran di salah satu hotel yang ditinggali oleh warga Indonesia pada 17 September 2015, hingga tragedi Mina yang terjadi pada 24 September 2015.

Kejadian yang beruntun demikian, selain mencoreng nama baik Arab Saudi sebagai negara “tunggal” penyelenggara haji, juga meninggalkan sekian spekulasi-spekulasi yang tak berujung. Spekulasi-spekulasi tersebut ada yang dibuat untuk menyudutkan suatu paham tertentu, menjatuhkan nama seseorang hingga menyebarkan agitasi dan propaganda. Di antara spekulasi-spekulasi tersebut, misalnya, berita yang diunggah oleh arrahmahnews.com. Media tersebut berpendapat bahwa kelompok Illuminati ikut terlibat dalam ambruknya crane.

Continue reading